Kaum Pseudo-Religi



KITA tahu bahwa kelak segala kepandiran akal akan selalu mencari rekonsiliasi atas semua hal yang telah lewat. Terlebih, pada perseteruan yang selama ini tumbuh mengakar dalam rumbai-rumbai kepahitan. Pun segala pelik yang memantik kepedulian kita untuk selalu punya laku rendah hati dan bersahaja. Tapi, kita tidak lagi mengingat kebersamaan yang tulus dan tidak mengekang itu.

Barangkali nilai-nilai yang selama ini kita dirikan kembali runtuh dan memecah belah. Atau semua hal yang kau ucapkan hanya omong kosong belaka? Mungkinkah? Apakah ini hanya suatu kenisbian? Bukankah kau telah berkali-kali mengatakan perihal tahapan dalam menempuh kerasnya hidup? Atau kita hanya korban dari produk peradaban yang barbar? Karena semua yang kau lakukan itu bentuk pembodohan.

Kali ini aku kembali mengingatmu, tentang bagaimana kau dan para kaum pseudo lainnya menatap ringkih pada gerombolan remaja ingusan—yang kau kebiri dan kau kencingi alam pikirnya—dan dengan sedikit tipu muslihat, kau memberinya mimpi-mimpi kolektif. Memang terdengar ranum, tapi di sebalik ucapannya itu; terselip duri dengan ujungnya yang tajam. Mungkin kita hanya tinggal menunggu waktu saja, bau amis darah dan nanah itu cepat atau lambat akan meleleh disekujur tubuh gerombolan remaja yang penuh mimpi dan khayalan masa depan.

Betapa keangkuhan mengalahkan segala sikap baik yang tertanam pada sifat manusia. Kau memang pandai berolok-olok. Ini bukan bagian dari apologi atas segala sikap yang aku ambil hari ini. Tapi, lebih kepada melihat kenyatan hari ini. Ternyata kau tak lebih dari sekedar benalu yang menggantung pada tanaman atau lahan orang lain untuk merpermudah pola tatanan hidupmu sendiri.

Apa yang kau cari saat ini, Tuan? bukankah kau telah mendapatkan segalanya? Tidak puaskah kau dengan semua capaianmu hari ini? Lalu apa lagi yang kau cari? Di luar sana masih banyak hal-hal yang lebih besar jika keinginamu hanya untuk menciptakan sejarah. Bukan pada sekup kecil yang diisi oleh beberapa kacung dengan tingkah polos yang seenak udel kau buat menjadi kian bengis dan tak tahu diri.

Pada titik akhir, kau dan kacung-kacung itu—aku bagian dari kacung yang sadar—menjadi orang yang paling benar di sekelilingnya. Dan orang yang bukan bagian dari ’kita’ adalah haram jadah; terkutuk.

Ah, enyahlah segera!

Tidak ada komentar: