Sihir Batu Akik


KETIKA saya mendengar harian di media massa seputar batu akik dan para komplotannya yang sedang tenar bak selebritis, saya jadi teringat dengan pemberian cincin batu akik dari ayah saya, beberapa tahun yang lalu. Sungguh, saya sedikit menyayangkannya. Sebab, kalau diingat-ingat kembali, cincin batu akik pemberian ayah itu cukup menawan jika dilihat menggunakan kaca mata kekinian.

Pertama, karena saya tidak menganggap batu akik sebagai sesuatu yang spesial waktu itu. Kedua, para remaja seumuran saya, bahkan orang dewasa pun tidak ada yang pede memakai cincin begituan. Macam dukun saja, pikir saya begitu waktu itu. Jadi bisa dikatakan saya menyesal telah berbuat sia-sia terhadap cincin batu akik pemberian ayah saya. Apalagi, batu akik kini kian digandrungi anak muda.

Berbicara perihal batu akik, bagi saya ibarat sedang membicarakan konser Java Jazz Festival 2015 yang gandrung dengan musisi-musisi tersohor di jagad internasional, macam Jassie J, Christina Perri, Chris Botti, dan Bobby McFerrin, misalnya. Sebab, semenjak pergantian tahun tepatnya bulan Januari hingga Maret, batu akik selalu dibicarakan dari berbagai kalangan dan latar belakang usia.

Tak peduli itu bocah SD, para remaja yang sedang dalam masa pubertas, mahasiswa yang tengah menyusun perubahan melawan represi pemerintah, orang dewasa yang dalam puncak eksistensi, hingga kakek-kakek di panti jompo pun kerap menjadikan batu akik sebagai primadona baru di Indonesia.

Meski keberlangsungan batu akik di Indonesia bukan hal baru, tapi belum pernah batu alam tersebut meraup popularitas seperti halnya yang terjadi saat ini. Harian di media massa, baik cetak maupun elektronik, tak henti-hentinya menampilkan fenomena seputar batu akik hingga kemasyhurannya terdengar di seantero negeri.

Meski terkadang tak bisa lepas dari berbagai tudingan pro-kontra dan banyak kontroversi lainnya yang menyelinap masuk tanpa diundang, batu akik tetap tidak goyah. Tak mengherankan jika batu alam tersebut laku keras di pasaran. Bahkan dengan harga selangit.

Sebuah media bahkan pernah mengulas bahwa Indonesia kini menjadi pasar batu akik nomor dua di dunia, setelah Tiongkok, karena tiga alasan. Pertama, pengguna batu akik di negara ini diperkirakan mencapai 12 juta orang. Kedua, perputaran uangnya mencapai triliunan rupiah dalam setahun. Ketiga, batu akik Indonesia memang dikenal indah dan banyak jenisnya. Mulai Giok dari Takengon Aceh, Kalimaya (Black Oval) dari Banten, Edong atau Panca Warna dari Garut, dan kini yang terkenal dan konon diburu para hartawan internasional adalah batu Bacan dari Ternate.

Terlepas dari itu, batu akik tetaplah batu akik. Ia tetap akan terlihat eksotis ketika diselipkan ke ibu jari para lelaki dalam beragam jenis yang ada. Tapi yang menjadi persoalan kemudian, batu akik yang tersohor itu kini mulai dimanfaatkan oleh sebagian orang. Entah dari segi potensinya, secara ekonomi, budaya dan sosial politik hingga perputarannya yang menggiurkan membuat persaingan di pasar industri batu akik menjadi kian sengit dan saling menohok.

Secara ekonomi, popularitas batu akik sangat menguntungkan terhadap kerja kreatif perekonomian di Indonesia. Artinya, ada kebanggaan tersendiri bagi para pengrajin batu akik yang telah mampu mengembangkan ekonomi kreatif. Pemasukan negara pun bisa diperhitungkan dari melonjaknya harga cincin batu akik di pasaran.

Batu akik adalah pembalasan setimpal untuk tas, baju, dan sepatu. Sama-sama digunakan, sama-sama bukan mandatory, dan sama-sama membuktikan kekinian seseorang. Makanya, ketika gadis remaja asyik dengan tas dan sepatu lucu, calon-calon kepala keluarga asyik dengan koleksi batu akik. Sebagian dari para lelaki kekinian tentunya tidak ingin kalah start. Mereka turut andil dalam demam batu akik ini.

Namun demikian, hal ini tidak akan berlangsung lama. Karena saya menyadari bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang latah berjamaah. Sebab, tidak jarang tren-tren baru bermunculan dari berbagai hal: mulai dari produk elektronik, aksesoris, tren mode fashion, sampai hal-hal yang berbau hipokrit turut menyertai keberlangsungan dinamika sosial-ekonomi kita.

Batu akik tak ubahnya komodifikasi gelombang cinta atau burung love bird yang sempat gandrung beberapa masa silam. Fenomena batu akik adalah fenomena remedial. Fenomena melambungnya harga batu akik hingga menyentuh angka di luar nalar komoditas bersangkutan itu merupakan mekanisme remedial pada konteks keuntungan finansial serba menggiurkan. Tak pelak, menumpulkan nalar edukatif yang memadai sekaligus menunjukkan amnesia publik sedemikian akut.

Mentalitas pemikiran masyarakat lebih mengarah pada kepanikan membeli ketimbang menalar kembali rasionalitas pemenuhan diri. Mengapa masyarakat kita begitu mudah dijungkirbalikkan pada hal-hal yang bersifat semu? Mengapa publik tidak pernah belajar dari banyak fenomena yang telah lewat? Keuntungan sesaat terus-menerus menumpulkan elemen rasional masyarakat kita.

Kecemasan masif ini berbanding terbalik dengan gaung keterbukaan informasi dekade ini. Ketika komoditas baru dimunculkan dan melanda masyarakat kita, hilanglah kecerdasan kita sampai pada titik nadir. Begitu derasnya komodifikasi berbasis keuntungan sesaat ini pada akhirnya menumpulkan hakikat manusia sebagai makhluk yang mengamati menjadi makhluk materialistis kronis.

Publik semakin gagap menghadapi permasalahan impian semu yang lebih mengedepankan kepanikan semata. Karena dengan dihadirkannya fenomena batu akik ini, tidak diresapi sedemikian dalam. Sebaliknya, masyarakat justru saling sikut dan memanfaatkan untuk menjadi bagian penting di dalamnya demi mendapatkan keuntungan besar.

Pada dasarnya, pengerukan potensi ekonomi masyarakat berbasis komoditas populis sesaat menjadi sebuah kecemasan masif tanpa ujung pangkal. Pembiaran fenomena ini layaknya air mengalir yang secara tidak langsung bisa saja menumpulkan kecerdasan publik berganti menjadi kepanikan masif.

Oleh karenanya, kita mesti membiasakan diri untuk tidak terpengaruh dengan hal-hal baru yang bersifat sementara. Popularnya batu akik yang harga sebelumnya berada pada kisaran puluhan ribu rupiah, saat ini melambung tak terkendali hingga di luar nalar sehat. Bahkan kabaranya mencapai puluhan sampai ratusan juta. Sungguh sebuah keadaan yang cukup mengkhawatirkan.
Tapi memang tidak semua masyarakat kita berlaku demikian. Pemikiran instan tanpa perhitungan itu hanya dilakukan oleh orang-orang kagetan dan suka memanfaatkan keadaan saja. Artinya, terlepas dari apapun kompleksitas dinamika sosial-ekonomi kita, masyarakat mestinya tetap belajar dan bercermin pada masa lalu.

Bahwa kita mesti berpikir jernih, tidak latah dengan hal-hal baru yang muncul di permukaan sebelum mengetahui dengan jelas pangkal pinangnya. Sehingga, mampu menyesuaikan porsi di lini masing-masing sesuai kebutuhan dan keadaan yang bersinergi. Terakhir, belajarlah melupakan kebiasaan buruk untuk sekadar menjadi pengekor yang konsumtif. (*)

Tidak ada komentar: