Hidup Rasa Blakanis



BLAKANIS adalah sebuah novel milik Arswendo Atmowiloto yang menurut hemat saya cukup berbeda dengan novel-novel Arswendo lainnya. Dalam cerita yang dikemas secara sederhana itu, Arswendo berusaha memberi nilai tawar dari konsep idenya kepada pembaca lewat tokoh dengan karakter magis bernama Ki Blaka. Secara umum, novel ini berbicara tentang kejujuran. Blaka sendiri adalah kata serapan yang diambil dari bahasa jawa yang berarti jujur.

Novel ini sebenarnya berupaya mengajak kita untuk merenung, memotivasi, dan memperlihatkan bahwa kejujuran adalah sebaik-baik jalan yang mesti ditempuh setiap manusia. Dalam novel ini juga disinggung apakah kita sudah jujur dalam berbagai soal. Lalu, dijelaskan pula mengapa kita mesti jujur kepada setiap orang. Intinya, kalau kita belum jujur, lakukanlah sekarang. Sebab dengan kejujuran, setiap orang akan mampu berdiri untuk memotivasi hidupnya.

Di awal cerita, buku ini mampu mengajak pembaca ke ruang imajinasi terdalam. Dengan gaya penulisan yang khas, pembaca seakan dibawa ke dalam isi cerita dan turut menjadi bagian dari kisah yang menyuguhkan banyak konflik dan hal-hal yang tidak terduga. Meski pembaca akan menemui kesulitan dalam membaca novel ini—karena kompleksitas masalah, banyaknya tokoh, alur cerita dan setting tempat—namun pembaca tidak perlu khawatir akan mendapatkan hambatan yang berarti. Kita hanya butuh kejelian dalam membaca lembar demi lembar dengan saksama. Lalu menenggelamkannya dalam imajinasi dan sudut pandang kita sebagai pembaca untuk kemudian memberikan kesimpulan.

Barangkali Arswendo sedang membaca bahwa iklim di Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Artinya, kegaduhan ekonomi, sosial, politik bangsa yang sedang hangat itu, mampu dimaknai oleh Arswendo melalui novelnya, Blakanis. Arswendo nampaknya cukup mafhum dengan gejolak bangsa yang kerap kali ternodai oleh perilaku masyarakat, aparatur negara, para pemimpin yang menduduki parlemen, dan lain-lain yang semakin bebal. Juga, banyaknya trik dan intrik yang menyebabkan karut marut negeri semakin kompleks. Terutama kasus korupsi yang kian meningkat akibat dari perilaku moral bangsa yang tidak jujur.

Novel ini cukup cerdik mewakili segala pelik yang melilit bangsa Indonesia. Hanya saja, Arswendo mengisahkannya dengan cara yang sederhana agar novel Blakanis dapat dinikmati dan lebih diterima oleh semua elemen masyarakat yang anonim. Meski begitu, novel Blakanis tetap memberi kesan luxuries.

Saya kira buku ini tidak membutuhkan banyak telaah ilmiah. Tapi, dalam rangkaian kisahnya, buku ini berisi ajaran-ajaran tentang kejujuran. Saya pikir, buku ini juga merupakan sentilan Arswendo bagi para penguasa negeri untuk mempunyai laku hidup blaka atau terbuka; jujur.
Sejatinya, tokoh Ki Blaka merupakan tokoh yang biasa-biasa saja, bahkan nyaris tanpa kemewahan. Namun demikian, gagasan Ki Blaka lah yang membuat dia menjadi istimewa di mata masyarakat karena kejujurannya.

Kesehariannya, Ki Blaka hanya mengajak masyarakat di sebuah ’padepokan’ sederhana untuk bercerita seputar pengalaman masa lalunya satu per satu. Tentunya tanpa tedeng aling-aling. Hingga suatu waktu, mayoritas masyarakat mampu tergugah hatinya untuk berlaku jujur pada siapa pun, tanpa ada desakan dari luar.

Pada titik itu, Ki Blaka semakin dikenal dan banyak dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat di beberapa daerah. Masyarakat yang berpartisipasi dan tergerak hatinya menyebut dirinya sebagai Blakanis. Hingga turut pula didirikan sebuah kampung yang dinamai Kampung Blakan. Penghuninya tidak lain adalah Ki Blaka dan para pengikutnya, Blakanis.

Karena yang menjadi Blakanis datang dari berbagai latar belakang, maka tokoh-tokoh yang muncul dalam kisah ini pun jadi sedemikian unik. Seperti tokoh Mareto, dia adalah bekas intel yang punya visi ’membunuh untuk menyelamatkan’. Ada Suster Emak, dia merupakan sahabat dekat Ki Blaka yang selalu melayani Ki Blaka sepanjang waktu. Kemudian Jamil Akamid yang pernah menjadi menteri. Jamil Akamid pernah menyerahkan diri pada aparat kepolisian karena tergugah hatinya oleh wejangan dari Ki Blaka untuk berlaku Jujur. Terakhir adalah Ai, tokoh cantik yang gemulai. Ai merupakan istri pengusaha Linggar Jimaro yang kaya-raya.

Berangkat dari tokoh Ai yang mendatangi Kampung Blakan dengan memulai ritual mandi di sungai dengan cara telanjang itu, muncullah tradisi baru di Kampung Blakan yang dinamai dengan ’adus ai’. Atau ritual mandi dengan telanjang bulat di sebuah sungai bagi pendatang yang berkunjung ke Kampung Blakan. Hingga kemudian, ritual adus ai ini menjadi ritual yang diikuti oleh banyak Blakanis lainnya.

Sepintas, memang gagasan Ki Blaka ini semacam agama baru bagi masyarakat Kampung Blakan. Nampaknya benar demikian, tapi nampaknya juga tidak. Ki Blaka tidak berniat membuat agama baru dengan embel-embel kejujuran, tetapi dia menetapkan aturan main: semua orang yang ingin mengobrol dengannya, harus mau berkata jujur.

Kemudian Ki Blaka bersabda: ”Musuh utama kejujuran bukanlah kebohongan, melainkan kepura-puraan. Baik pura-pura jujur atau pura-pura bohong.” Ia tidak memaksa orang untuk jujur. Kejujuran yang dipaksakan bukan merupakan kejujuran lagi, tetapi sudah jatuh ke dalam kepura-puraan.
Memang terlihat menggelikan. Tapi itulah Arswendo. Ada sisi lain yang ingin dia tunjukkan dari sebuah ekspresi bernama kejujuran. Terlepas dari itu, kejujuran adalah kejujuran. Bagaimanapun kejujuran tidak bisa dipaksakan. Ia lahir secara naluriah dan alami.

Pada realitas hiruk-pikuk saat ini, nampaknya akan sulit ditemukan manusia-manusia dengan keberanian melawan kebohongan dan kepura-puraan. Bukan saja berani berbuat jujur, tapi juga merestorasi isi kepala tanpa tameng secara masif. Meski akan sulit dibayangkan sebuah kehidupan seperti yang ada dalam kisah Blakanis, tapi Arswendo sudah cukup jujur berbagi cerita lewat novel Blakanis. Buku ini wajib Anda baca untuk mengukur seberapa jujur hidup Anda saat ini! (*)

Ghinan Salman, Februari 2015

Tidak ada komentar: