Ann, Riwayatmu Kini

Ilustrasi: Berta Sofyan


SEJAK kali pertama mengalami menstruasi—kira-kira ketika tamat Sekolah Dasar hingga sekarang berstatus sebagai mahasiswa—masih tetap kurasai kau sebagai kota yang magis. Jika dahulu aku hanya datang untuk sekadar berlibur dan membeli gula-gula di Malioboro, namun kali ini cukup berbeda. Waktuku lebih banyak dihabiskan dengan bercengkerama di warung angkringan.

Selalu begitu setiap malam. Ah, indah rasanya. Sebab banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan di angkringan dan ritual perjalanan—yang barangkali tak bisa aku temukan di bangku kuliah. Pengunjung yang datang pun beragam. Mulai dari tukang becak, sopir truck, hingga anak-anak muda yang melakukan perjalanan mengunjungi tiap-tiap kota.

Obrolan kami menjadi sedemikian unik, kian menarik dan sayang untuk dilewatkan. Kami mengobrol mulai dari hal-hal ringan sampai menjurus pada peliknya persoalan hidup yang tak habis-habisnya. Hingga terkadang rasa haru turut menjadi pelengkap dalam suasana malam yang teduh itu.

Malam ini aku kembali mengingat berbagai anasir yang menghujani alam pikirku pada satu kota yang menyimpan aforisme perihal perempuan malam. Jogjakarta. Ya, Jogjakarta… kota ini pernah membenamkan kebencianku pada setiap perempuan yang—sengaja atau tidak—menjual dirinya pada lelaki hidung belang. Kebencianku pupus setelah aku tak sengaja bertemu dengan seorang perempuan bernama Ann.

Aku mengenalnya di sudut jalan, di sebuah angkringan milik Pak Bejo. Kali ini aku kembali untuk menunaikan tugasku sebagai tourist guide di sebuah travel agency swasta. Setiap mendatangi kota ini, aku selalu mendahulukan diri untuk mendatangi angkringan Pak Bejo. Entahlah, angkringan Pak Bejo selalu mempunyai alasan untukku kembali, meski tak selalu jelas alasannya.

Ah, perjalanan kali ini cukup melelahkan. Aku bersiap melangkah ke luar stasiun sambil membetulkan letak kemejaku. Jam tangan di pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul 21.55 WIB. Tanpa pikir panjang, aku bergegas mendatangi angkringan milik Pak Bejo. Letaknya tak jauh, kira-kira berjarak sekitar 10 meter dari Stasiun Tugu.

“Selamat malam, Pak,” aku memberi salam pada Pak Bejo dengan wajah berseri.

“Eh kamu, Nduk.. sudah lama rupanya tidak berkunjung ke sini,” tanya Pak Bejo semringah.

“Betul, Pak. Sudah hampir enam bulan rupanya,” aku tersenyum sambil meletakkan tas ransel di samping kursi.

“Pak Bejo nampaknya sedikit terlihat tua, ya. Apa kabar, Pak?” aku balik bertanya.

“Alhamdulillah sehat, Nduk. Ah, masa sudah kelihatan tua…” Ia mengernyitkan dahi. “Tapi tak apa lah, itu kan bukan persoalan serius,” ujarnya setengah meledekku.

“Ha-ha-ha benar, Pak. Aku sepakat!” jawabku diikuti dengan tawa menyeringai.

“Teh panasnya diminum dulu, Nduk. Hawanya dingin. Ini kopinya masih dibikin. Saya masak air dulu, air di ceret habis,” ia menyodorkan teh kehadapanku sambil menakar serbuk kopi di sebuah cangkir berukuran mini.

Tak berselang lama, Pak Bejo menghidangkan kopi kepadaku.

“Terima kasih, Pak,” ujarku “Kalau ke Jogja tidak minum kopi sampeyan, rasanya ada yang kurang, Pak,” ledekku sembari menyeruput kopi yang masih panas.

“He-he-he sudah pasti, Nduk. Oh-ya, sampai kapan kira-kira di Jogja?” tanyanya serius.

“Satu mingguan lah, Pak. Saya mesti segera kembali ke Surabaya-Madura untuk menyusun skripsi. Sudah dua semester saya tunda, sekarang sudah waktunya, Pak. Tak mau ditunda lagi,” aku tersenyum malu menjelaskan.

“Iya, Nduk, segeralah lulus,” jawabnya memberi semangat.

“Insya Allah, Pak, doakan saja. Oh-ya, bagaimana kabar Ann, Pak, apa dia masih sering berkunjung ke sini?” tanyaku penasaran.

“Saya ndak tahu, Nduk. Sudah beberapa bulan ini saya ndak pernah dengar kabar tentangnya. Dia belum datang ke sini lagi,” kata Pak Bejo menjelaskan.

Malam telah tua. Aku lihat lampu-lampu kota sudah terlihat pucat pasi. Juga rembulan yang murung, membuat suasana malam semakin senyap. Sementara aku duduk tepekur memandangi genit-gemintang yang tak lagi membuat kerlap-kerlipnya di hamparan luas cakrawala. Sepertinya akan turun hujan.

Bagaimana kabar ia sekarang. Malam ini aku betul-betul cemas padanya. Perasaanku hampir karam dihantui sekelebat pengalaman pelik yang menghimpun musim nestapa pada hidupnya. Aku pun mencoba memahami kebimbangan yang dialami perempuan malam itu.

Entah mengapa aku begitu berempati pada perempuan yang baru-baru ini aku kenal. Lantas kenapa pula banyak yang mencemoohnya hanya karena status sosialnya sebagai perempuan penghibur? Tidakkah ia hanyalah seorang manusia biasa, sama sepertiku dan manusia lainnya? Kenapa pula para kaum terpelajar yang mengaku suci itu begitu bengis padanya? Ah, enyahlah kau yang selalu menghakimi manusia lain tanpa melihat diri sendiri yang penuh nanah, bau amis darah itu!

Aku tak habis pikir dengan sikap orang-orang yang selalu mengerdilkan orang lain sebelum ia tahu, apa motif perempuan malam itu menjadi seperti sekarang. Orang-orang hanya mengerti secara kulit luaran saja, tanpa pernah datang langsung melihat realitas riil tentang pelacur. Batinku pun mulai berkecamuk.

Siapa yang bersedia atau mungkin bercita-cita menjadi pelacur? Tidak ada! Sejak Ann masih seusia anak sekolah dasar, tidak pernah terpikirkan olehnya untuk melacur, menjadi gundik untuk memuaskan hasrat lelaki. Tidak pernah! Keinginannya sama dengan anak-anak seusianya dulu: menjadi guru, dokter, pilot, atau bahkan presiden.

Ah, lama-lama aku geram juga. Sebaiknya aku sudahi saja lamunan tentang tetek-bengek ini. Kemudian, aku melangkah meninggalkan angkringan Pak Bejo menuju tempat hiburan para lelaki hidung belang di Sarkem, untuk menebus rasa penasaranku pada Ann.

Di pelataran yang sempit itu, kujajaki inci demi inci seluruh sudut ruangan yang remang. Sarkem memang tak ubahnya pasar malam yang disesaki para pengunjung untuk melakukan observasi demi mendapatkan dan membeli barang yang diinginkan. Bedanya, tempat prostitusi hanya disesaki para lelaki hidung belang yang berkelindan—yang menggunakan mata lelakinya untuk memburu perempuan-perempuan molek seharga 50-100 ribu rupiah untuk dua kali main.

Lampu-lampu ublik dengan aneka warna nampak mengedipkan cahaya berkali-kali, menandai simbol hiasan di beranda rumah para pelacur. Sementara kedua telingaku tak henti-hentinya mendengar dentuman musik disko layaknya diskotik mahal. Dentuman musik itu saling bersahutan satu sama lain.

Sarkem, barangkali begitu kata orang—adalah salah satu lokalisasi menengah di Jogjakarta yang cukup strategis, meski tak begitu apik. Di tempat itulah pandanganku disuguhi berbagai macam kupu-kupu malam yang melenggak-lenggok di balik dinding kaca transparan; ada yang nampak cantik, lemah gemulai, berparas anggun dan menawan.

Mereka terbagi dalam beberapa usia, yakni usia muda berada di antara 21-30 tahun dan usia tua berada pada umur 31-40 tahun. Perempuan-perempuan itu kudapati memenuhi pelataran rumah sepetak dengan tipe 21. Aku jadi ingat lokalisasi macam ini seperti Dolly di Surabaya. Bagiku tak jauh berbeda. Hanya jika di Sarkem, kita perlu membayar tiga ribu rupiah untuk karcis masuk menuju wisata birahi itu.

Malam semakin larut. Hujan baru saja reda. Tak juga kutemui sosok Ann. Sementara bau tanah basah oleh curah hujan tercium pekat dalam pelukan dingin di jalan-jalan. Malam pun semakin menggeliatkan setiap orang yang berada di bilik-bilik rumah birahi itu.

Aku masih saja berjalan menyusuri tiap-tiap gang sempit penuh sesak. Aku lihat kiri-kanan, memperhatikan masing-masing rumah yang berbilik itu. Perempuan-perempuan malam nampak sedang asyik melayani tamunya. Segalanya larut dalam suasana. Masing-masing dari mereka berjoget, bergurau, berbincang, dan tertawa satu sama lain. Lalu sesekali menyelipkan peluk dan cium. Berpuluh-puluh botol bir turut menjadi pelengkap, menghiasi seisi ruangan.

Pandanganku tiba-tiba beralih pada seorang perempuan yang sedang berdiri di pintu salah satu pelataran rumah. Dandanannya terlihat begitu menor. Ia mengenakan long dress mini berwarna pink dengan motif kembang yang membuatnya nampak segar bergairah. Meski sebenarnya, ia tak pandai dalam urusan fashion.

Rambut ikalnya yang panjang terurai, sesekali ia kibaskan dengan lentik jemarinya. Kemudian ia tersenyum, melepaskan pandang pada para pengunjung yang melintas di depannya. Di sela-sela jemarinya, terselip rokok yang menyala. Ia hisap dalam-dalam dan sesekali ia hembuskan perlahan.

“Mari silakan, Mas. Murah kok,” sapanya dengan genit menggoda kepada para lelaki yang melintas di depan bilik rumahnya.

Aku tercengang, mengamati dengan baik tingkah perempuan tadi. Bukankah itu Ann, pikirku dalam hati. Dugaanku tidak pernah salah, dia memang benar Ann. Ya, itu kau, Ann. Perempuan yang pernah menceritakan pengalaman hidupnya padaku. Tapi aku tak beranjak, aku hanya memandanginya dari kejauhan. Masih dengan wajah tertegun.

Langkahnya terlihat gontai, seakan menyiratkan bahwa ia butuh pelanggan yang bisa membantu memenuhi kebutuhan finansialnya. Sepertinya memang belum ada pelanggan yang datang bertamu kepadanya. Di balik lipatan wajahnya yang tak bahagia itu, aku menyimpan rasa iba.

Aku terdiam sejenak, mencoba menerka isi pikirannya. Cobaan apa lagi yang kini sedang ia alami. Di antara lamunanku itu, dari kejauhan pandang aku mencoba mengingat sekelebat ingatan yang datang menghampiri seisi pikiran.

Sudah sepuluh tahun lamanya Ann menjadi gundik bagi laki-laki kehausan birahi. Ann sadar bahwa ia tidak punya pilihan lain selain menjadi pelacur. Ia tidak sedang mengada-ada. Sejatinya, Ann sudah pernah mencoba hampir semua bidang pekerjaan: berdagang, menjadi pembantu rumah tangga, bekerja di pasar sebagai petugas kebersihan, dan lain-lain. Tapi semua pekerjaan yang coba ia tekuni tidak pernah bertahan lama. Hasil dari pekerjaannya tetap tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.

Terlebih, Ann memiliki tiga orang anak yang harus ia tanggung seorang diri. Belum lagi ia mesti membayar sewa rumah yang terlampau mahal setiap bulannya. Ketiga anaknya adalah buah dari pernikahan mudanya dengan lelaki bernama Hans Budiman. Suaminya tiba-tiba pergi meninggalkannya begitu saja sejak Ann mengandung anaknya yang ketiga. Entah apa motifnya, tak pernah diketahui alasannya. Begitulah Ann menceritakan pengalaman hidupnya.

Pada akhirnya, Ann memutuskan untuk menjual diri kepada lelaki hidung belang. Ia pun mulai merawat tubuhnya dengan baik—seperti gadis yang baru mengalami masa pubertas. Sebab tak ada pilihan lain baginya. Sementara ketiga anaknya butuh kelayakan hidup secara materiil. Pilihan itu sungguh berat bagi Ann.

Lagi-lagi hidup adalah soal pilihan. Salahkah jika Ann memilih jalan hidup dengan menjual diri, ditambah dengan kemampuannya yang terbatas itu? Secara normatif, mungkin salah. Tapi, bukankah setiap orang selalu punya pilihan atas persoalan yang melilitnya? Begitu juga dengan Ann.

Ia hanya takut tak bisa bertanggung jawab atas karunia Tuhan yang telah menitipkan tiga orang anak kepadanya. Bagaimana pun seorang anak adalah titipan sang Ilahi. Seorang anak harus mendapat perlakuan layak dari orang tuanya.

Waktu itu, jauh berbulan lalu, Ann mengaku bahwa usianya kini sudah memasuki usia senja. Kalau tidak salah umurnya 38 tahun. Itu artinya Ann akan tergantikan oleh perempuan lain yang lebih muda dan segar. Meski begitu, Ann tetap bersaing secara sehat dengan perempuan lain yang jauh lebih muda darinya.

Karena usianya sudah masuk kategori usia tua, ia rela jika harus mematok harga Rp. 50.000 kepada para pelanggannya. Jika Sarkem sepi pengunjung, Ann menurunkan harga menjadi Rp. 35.000 saja.

“Tak apalah, aku rela. Setidaknya aku masih bisa menghidupi anak-anakku meski harus dengan bersusah payah,” ujar Ann dengan nada riuh rendah.

“Kalau sudah tidak ada pelanggan, aku selalu menyempatkan diri membeli nasi kucing dan teh manis di angkringan Pak Bejo untuk sekadar mengganjal perut. Meski keadaanku seperti ini, aku bersyukur mbak masih dikaruniai kesehatan,” kata-katanya terdengar sayup menahan bekas pilu.

Batin ini serasa ringkih mendengar kisah yang ia terbitkan dari suara yang letih itu. Bibirku terasa kelu, tak mampu berucap apa-apa. Aku terdiam. Dan tak terasa guliran air mataku menetes membasahi kedua pipiku. Lekas kuusap air mataku dengan sehelai tisu agar tak nampak oleh Ann kalau aku mengasihaninya.

Dalam satu malam, Ann kembali melanjutkan ceritanya, ia biasanya dapat melayani 7-10 pelanggan. Akan tetapi, ia mesti menyetorkan uang sebanyak 20% dari hasilnya melacur kepada sang muchikari (majikan).

Pengalaman hidupnya benar-benar mengiris dada. Ann terus saja bercerita hingga aku segan untuk menyela pembicaraan yang keluar deras dari mulutnya. Aku mengerti Ann, kau begitu ingin aku mengetahui segala pelik hidupmu. Nampaknya kau tidak ingin aku bernasib sama seperti halnya dirimu. Aku sungguh sangat menghargai ketulusanmu, Ann.

Aku terus saja menjadi teman cerita yang setia. Seolah aku adalah buku hariannya, dan Ann tiada henti menuliskan segala kisah peliknya pada buku harian itu.

“Ketiga anakku lah yang sampai hari ini membuatku bertahan. Mereka tidak perlu merasakan pahit yang sama, seperti halnya aku,” suaranya terdengar lirih, sementara matanya terlihat berkaca-kaca.

Ann terdiam sejenak, kemudian menghela nafas. Tak lama ia melanjutkan kembali ceritanya. Ia terus berbicara dan sesekali menggumam.

“Aku ikhlas bersusah payah, aku akan menanggung segala risiko ini. Demi anakku. Tidak yang lain!”

“Aku percaya bahwa Tuhan selalu punya alasan pada hambanya yang sedang menghadapi pahit getirnya rasa dalam hidup.” Kata-katanya penuh keyakinan, lalu ia melanjutkan. “Mungkin aku memang hina di mata Tuhan. Tapi aku percaya, bahwa Tuhan selalu tahu apa yang ada pada hati terdalam manusia.”

“Semoga saja doa-doaku di terima di sisi-Nya,” kedua matanya berlinang. Ann tak kuasa lagi menahan. Air mata itu tumpah membasahi kedua pipinya seketika.

“Ah, lantas apa gunanya aku mengeluh seperti ini,” Ann mengusap kedua pipinya dengan kedua lengannya.

“Kalau pun nasibku akan menjadi gundik seperti ini, mau tak mau seumur hidup akan kujalani. Aku ikhlas. Dan aku tidak akan menghardik apa yang telah menjadi kehendak-Nya kelak,” suaranya lirih, mantap penuh keyakinan.

Suasana malam itu luruh seketika, membuat aku dan Ann semakin hanyut dalam perasaan melankolis. Aku seka wajahnya yang berlumuran air mata itu.

Bagiku tidak ada yang salah dengan seorang pelacur. Ann adalah seorang pelacur keadaan. Ia murni melakukannya demi niat tulus untuk membiayai anak-anaknya tumbuh besar.

Karena identitas pelacur tidak hanya melekat pada perempuan-perempuan yang menghuni tempat pelesiran saja. Di kantor-kantor perusahaan megah, institusi pendidikan, bahkan di perguruan tinggi sekali pun, masih banyak pelacur berkedok intelektual yang sengaja menjual harga dirinya demi sebuah pamor, prestise, gelar, jabatan, dan nilai yang tak lebih hanyalah sebuah eksistensi buta. Meski tidak dengan bertelanjang bulat dan tidak semuanya demikian.

Sekarang, lebih pelacur mana perempuan di pelesiran yang terpaksa menyelami diri karena himpitan ekonomi dengan perempuan berilmu—yang menduduki instansi atau lembaga pendidikan—yang menjual harga dirinya hanya demi sebuah penganugerahan status? Bukankah dalam sekali hidup, kita perlu menerbitkan pahit getirnya ‘rasa’ yang turun atas kehendak Tuhan? Seperti kata Bagus D. Danto dalam syair lagunya: ...yang wajib dari rasa adalah luka... // yang wajib dari rasa adalah luka...

***

Aku masih memandangi Ann dari kejauhan. Kuamati raut wajahnya tidak lagi murung. Syukurlah, akhirnya ada pelanggan juga yang datang. Semoga kau selalu baik, Ann. Aku mendoakanmu.

Aku bergegas berjalan keluar meninggalkan Sarkem. Sedang Ann tengah melayani tamunya dengan baik. Di ujung malam itu, aku melangkah penuh kepastian, melanjutkan sisa perjamuan yang belum selesai kujamah. Rahasia apa lagi yang coba Tuhan hadirkan? (*)


Ghinan Salman, Februari 2015

Tidak ada komentar: