Saya masih
mengingat dengan jelas perihal bagaimana sastra dan kesenian mampu menggugah
kesadaran saya. Kira-kira waktu itu saya baru akan lulus SMA. Ya, kesenian berhasil
membelokkan keinginan saya yang absurd. Alih-alih, ketika saya lulus SMA—beberapa
tahun lalu—saya menjadi demikian berhasrat untuk memprogram
jurusan Sastra Indonesia di salah satu PTN di Jember.
Sungguh sial, saya tidak lulus ujian SNMPTN
pilihan pertama. Justru saya diterima di UTM sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi—waktu itu UTM adalah pilihan kedua. Tentu ini kisah yang tragik. Sebuah aforisme yang
membawa saya hanyut dalam lamunan perjalanan menuju: menjadi kesenian; nyeni. Meski lamunan saya ini terkesan
hiperbolik dan profan.
Tapi pada akhirnya saya mencoba berbesar
hati dan melawan gejolak batin yang waktu itu ogah kuliah di UTM.
Kemudian
membuat kesepakatan dengan diri sendiri untuk melanjutkan proses kreatif berkesenian
dengan cara bergabung dengan UKM seni di kampus.
Namun
keinginan itu luntur seketika ketika salah seorang kawan dekat saya berkata
yang aneh-aneh tentang kesenian di kampus. Kawan saya itu berkata begini:
“Berkesenian
tidak perlu ikut UKM seni. Lagipula iklim kesenian di kampus kita ini
begitu-begitu saja. Tidak ada yang istimewa,” demikian kelakarnya.
Awalnya saya tidak begitu percaya. Namun perkataannya begitu
menancap pada dinding alam bawah sadar,
bahkan sampai ke ulu hati. Ah, saya jadi skeptis
dan tidak mau bermain-main.
Mendengar
apa yang sudah teman saya katakan, tiba-tiba saya mengurungkan niat untuk bergabung di
salah satu UKM kesenian. Mungkin perkataan kawan saya itu salah, tapi apa yang
ia katakan mungkin juga ada benarnya. Dan saya tidak mau ambil resiko!
***
Setelah lebih dari setahun menjadi
mahasiswa UTM, saya masih dihantui rasa cemas oleh perkataan kawan saya itu. Dari
kejauhan, saya turut memantau aktifitas kerja kesenian di kampus agar mempunyai
cukup bukti bahwa ucapan kawan saya itu tidak benar. Namun belakangan ini, saya
menyadari dan turut merasakan proses kreatif dunia kesenian kampus tengah
mengalami disorientasi, terutama dunia seni rupa UTM.
Perhatian saya kini tertuju pada satu
titik: seni rupa di UTM. Sejatinya para seniman atau perupa di kampus ini—baik
secara pesonal maupun kolektif—memiliki
semacam pledoi untuk menunjukkan kreatifitas mereka di atas panggung, pameran seni-budaya, misalnya.
Atau pada event-event tertentu ketika memperingati hari-hari
penting lainnya. Tapi, lahir dan berkembangnya aktifitas kesenian di kampus,
kerapkali melupakan substansi-esensial kesenian itu sendiri. Karena iklim
kreatif tidak benar-benar diciptakan.
Dan oleh sebab itu, seni rupa di kampus
tidak pernah menawarkan karya-karya estetik-kontroversial yang membikin decak kagum
para mahasiswa atau dosen, misalnya. Tidak adanya gebrakan yang berarti untuk
menciptakan iklim kreatif itu membuat para penggiat seni rupa di kampus hanya
menunggu datangnya risalah: momen, ruang dimensi tanpa batas.
Pada dasarnya, iklim kreatif itu tidak
datang secara alamiah. Atau begini saja, iklim kreatif bisa saja datang secara
alamiah, namun hal itu akan percuma ketika penggiat seni rupa di kampus
menganggap itu sebagai yang pertama
dan utama. Karena proses terbentuknya karya seni (seni rupa)
selalu didukung dan diawali oleh
iklim kreatif, bukan terjadi secara alamiah. Tapi diciptakan.
Bagaimana jadinya kalau kerja kesenian ini
hanya berada di kulit luaran saja. Saya khawatir ketika ini tetap berlanjut—sebab
proses dan geliat seni rupa
akan bergerak maju. Sangat disayangkan ketika setiap tahunnya generasi penggiat
seni rupa mengalami kemerosotan yang datang secara masif dan berimbas pada
kualitas individu dan karya yang ala kadarnya.
Kesadaran ini tentunya mesti dipahami
sebagai suatu tanda, bahwa seni rupa di kampus tidak sedang baik-baik saja. Para
penggiat seni rupa
harus berani menciptakan dekonstruksi untuk mengeksplorasi kembali hal-hal yang tak selesai. Bahwa seni
rupa adalah proses mencipta
dalam mendaki tujuan
dan niat: menjadi manusia yang dekat dengan realitas dan memenuhi
ekspektasi jati diri sesungguhnya.
Saya
pikir penggiat
seni rupa UTM cukup mampu mengatasi
problematika yang kian rancu ini. Sebab, menurut hemat saya, seni rupa adalah
sebuah poros yang harus dipahami sebagai sebuah kekuatan (potensi) kebudayaan
kita. Maka, ketika para perupa hanya duduk manis dan berdiam diri, keinginan
itu mustahil dapat terwujud. Sebaliknya, ia akan lahir ketika individu-individu
penggiat seni rupa
mau memulai kembali ritualnya (proses-kreatif).
Tapi saya cukup mafhum akan hal ini: bahwa di UTM
barangkali (memang) sulit ditemukan iklim kreatif. Klausul untuk
mengidentifikasi penyebab sukarnya iklim kreatif itu diciptakan, memang tidak
terlepas dari pengaruh dan anggapan bahwa mahasiswa UTM adalah mahasiswa kelas
dua: (1) artinya,
anggapan yang sudah mendarah daging itu menganggap mahasiswa UTM tak lain
adalah mahasiswa buangan; mahasiswa yang terpaksa kuliah di UTM—sebab gagal bersaing di perguruan tinggi favorit
(2) seniman yang lahir di sini hanyalah seniman yang ala
kadarnya. Saya tidak berandai-andai, tapi inilah realitas yang sedang
menjangkiti pola pikir kita.
Cara
berpikir ini sungguh tidak bisa diterima. Inilah cara berpikir yang sedang
tidak fit-in dengan sejarah kesenian dan proses kerja kreatif seni rupa yang
pada perjalanannya akan menjadi pemicu yang menghambat seni rupa kita hari ini.
Gejala kebebalan-budaya dan
inferioritas yang sedang dialami perupa saat ini sudah semestinya dihilangkan
seutuhnya. Kalau saja iklim kreatif dari individu perupa ini ditegakkan
kembali, kemudian mulai berproses dan menghasilkan karya yang ‘dianggap’
memenuhi standart, anggaplah ini sebuah sublimasi menuju tatanan yang lebih
tinggi. Tentunya perlu mendapatkan apresiasi yang lebih.
Di samping itu, semestinya
pihak kampus sadar dan mau membuka mata perihal dekadensi yang dialami penggiat
seni rupa di kampus. Apa mungkin bau tengik kehidupan seni rupa di kampus ini
tidak tercium oleh birokrasi? Atau pihak kampus tidak tahu-menahu soal ini?
Entahlah, ‘kesengajaan’ apa lagi. Saya tidak mau suudzon terlebih dulu.
Sebagai kampus negeri yang
terbilang baru, tentunya kampus turut serta menciptakan iklim kreatif untuk mendukung kerja kreatif penggiat seni rupa kampus. Barangkali capaian itu bisa
diimplementasikan melalui intensitas dalam menciptakan momen-momen tertentu melalui
sebuah event, pagelaran seni rupa atau program tertentu yang mendukung proses
kreatif mereka.
Sebuah pagelaran seni rupa
atau program rutin lainnya akan mampu menjadi pemicu, semangat baru untuk dapat
melahirkan karya dengan sentuhan imajinasi dan iklim kreatif. Selain fasilitas
yang menjadi pendukung untuk menopang kreatifitas penggiat seni rupa tentunya.
Sebab seni rupa di kampus,
boleh saya katakan, semacam kehilangan ruang untuk menciptakan imajinasinya
melalui sebuah karya sebagai antitesa buah pemikiran. Memang, uraian
argumentatif menyoal seni rupa masih membutuhkan banyak lembaran kertas lain
lagi. Tapi semoga cukup merangkum seluruh parsialitas dan mendapat signifikansi
juga implementasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar