Aku, Kau dan Mereka yang 'katanya'...



Mestinya kita tidak perlu lagi berdebat. Kau datang bukan dari bangsa penyamun yang merompak keluhuran niat. Kau bukan seorang pemangsa yang meruntuhkan ingatan-ingatan kita pada satu siluman bernama kenangan. Bukankah segala bentuk sikapku yang berkelindan itu adalah bagian yang tidak dapat dimengerti oleh siapapun, kecuali kamu. Sadarlah, hidup kita sudah disusupi pengalaman yang pelik. Tidakkah kau sadar akan hal itu?

Ah, harus berapa kali aku bilang... agaknya kita sudah berada di ujung tanduk. Kita berjalan pada sebuah ruang yang berbeda. Kau masih saja kebingungan mencari arah. Sementara aku hanya menuntunmu agar kau tak lagi tersesat dan jatuh ke lubang yang sama.
Aku masih ingat dengan tuduhan yang datang bertubi-tubi kala itu. Sekelompok bandit-bandit bermuka tebal yang datang padamu, menjelaskan bermacam gagasan perihal perjalanan waktu yang ‘katanya’ mengenalkan kita kepada kebesaran Tuhan. Sementara sekelebat pertanyaan sudah di ubun. Kau tak berkutik. Pertanyaan itu memang ditujukan untuk menghadangmu, menghancurkan nurani dan akal sehat. Kau hanya diam, tak berdaya. Guliran air mata dari bening matamu tak dapat kau tahan lagi. Barangkali menangis bagimu adalah sebuah keniscayaan.

Ya, hari itu cukup menggelikan. Bagaimana bisa demit-demit yang baru merangkak itu dapat membunuhmu pelan-pelan, hingga kau berlumuran darah seperti ini. Aneh sekali, aku tak habis pikir. Perjalanan waktu yang mereka lontarkan pada sebuah pesan teks dengan metafora yang tinggi itu hampir mirip dengan bom waktu, tak pernah berdasar. Perjalanan waktu yang mereka bilang hanyalah kembang kertas yang klise. Mereka bilang tentang sebuah pencapaian; keharusan; keluhuran; namun dengan gamblang melupakan esensi batin yang sebenarnya. Mereka hanya berambisi untuk menaklukkan sebuah perjalanan.

Hey, jika mereka berjalan dengan tas ransel yang menjulang itu hanya sekedar ingin terlihat gagah, apa bedanya mereka dengan anjing metropolitan? Kemarilah, ada baiknya aku kencingi dulu biar kalian tidak cepat meledak.

Amarahku semakin membuncah, sampai-sampai akal sehat tidak dapat dikendalikan lagi. Ah, sudahlah.. ada baiknya aku mengalah demi kesenangan orang lain yang tiada batas itu. Aku sadar bahwa kebahagianku yang sejengkal itu selalu coba direnggut oleh siapapun yang berlaku nyinyir. Pada saatnya nanti aku hanya menunggumu berucap dan melakukan sebuah pengakuan dosa.

“Maaf, aku tidak menuruti kata-katamu. Andai aku mendengarmu, mungkin aku tidak bernasib sial seperti ini,” ucapmu, dengan kalimat penuh penyesalan.

“Sudahlah, tak perlu kau merendah begitu. Kau sudah setengah jalan. Ada baiknya kau lanjutkan sisa perjalananmu. Memang... apa yang pernah aku katakan padamu dulu, tidak enak rasanya jika tidak kau buktikan sendiri...,” aku coba meyakinkan nuranimu yang letih.

Di sini, aku hanya menjadi pemungut ranting yang tabah. Membikin api pada sebuah malam yang wingit. Duduk tertelungkup sambil menelanjangi waktu. Entahlah, rahasia apa lagi yang coba Tuhan hadirkan.[]

Bersambung...



Relakan yang terjadi
Tak kan kembali
Ia sudah miliknya
Bukan milik kita lagi

Tak perlu menangis
Tak perlu bersedih
Tak perlu tak perlu sedu sedan itu
Hadapi saja

Pasrah pada Ilahi
Hanya itu yang kita bisa
Ambil hikmahnya
Ambil indahnya

Cobalah menari
Cobalah bernyanyi
Cobalah cobalah mulai detik ini
Hadapi saja

Hilang memang hilang
Wajahnya terus terbayang
Berjumpa dimimpi
Kau ajak aku
Tuk menari bernyanyi
Bersama bidadari, malaikat
Dan penghuni surga

Iwan Fals – Hadapi Saja


Ghinan Salman

Sekte Masyarakat Goa, Membikin Api 30 Mei 2014

1 komentar:

iskak mengatakan...

untaian katany begitu indah mas,

LANJUTKAN!