kepada R yang tengah ber-euforia
Semula aku tak menyangka jika kau pandai berdalih dan mencari perkara demi satu identitas bernama pengakuan—ini mungkin saja benar. Aku sendiri tak pernah berpikir apalagi menduga kau akan berlaku demikian. Kukira kau bahkan tak mempunyai maksud dan tujuan tertentu untuk memberanguskan niat baik yang sudah tertanam sejak aku mengenalmu. Ah, rupanya aku salah melihatmu, kau terlihat pandai sekali membesarkan muka, kawan.
Aku tak akan lupakan, meski aku tak perlu membencimu.
Kita sempat beberapa kali bertemu dan bertatap muka, tapi kau tak pernah mempunyai alasan untuk mengajukan beberapa macam soal perihal apapun. Memang aku hanya sebatas mengenalimu, tidak lebih.
Tidak banyak yang aku ketahui tentangmu, kecuali kau seorang lelaki anti-sosial yang sedang gila pada koleksi buku dan diktat-diktat yang membuatmu fanatik pada apa yang kau pahami sebagai entitas; jati diri. Namun, kau sendiri telah lupa dengan apa yang sebenarnya sedang kau pelajari; yang kau amini. Kau hanya menjadikan hal itu sebagai bentuk unjuk gigi agar terlihat gagah.
Hari ini kau telah memasung dan menancapkan duri pada pundakku, kau tak boleh lupakan itu. Semoga kau tidak pernah mengalami nasib sial seperti apa yang kualami hari ini.
Kau tidak lagi kalap, kawan. Tapi kau berak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar