Matikan Apimu



EKONOMI-Industri-Konsumsi tidak akan pernah habis atau mati tergerus waktu. Ketiganya tetap menjadi produksi sejarah teramat dahsyat di masa kini. Dan dalam sepuluh tahun, dapat dibayangkan betapa besarnya kekuatan yang bersifat memaksa melawan kekuatan pengendalian (mengendalikan) diri.

Sebuah proses ’jalan menuju’. Lagi-lagi berbicara soal pilihan; melanjutkan tradisi klasik tentang ’konsep ber-Tuhan’— barangkali itu istilah yang lagi tren belakangan ini.

Lahir atau munculnya budaya-budaya global cukup memberi efek kepada masyarakat kita. Juga, semakin gencarnya produksi-industri yang proaktif menjalankan kegiatan yang mampu menarik dan menggiring masyarakat hingga terjadi dekadensi kebudayaan.

Pertanyaannya, mampukah kesadaran diri dihadapkan pada dikotomi kekuatan besar? Atau, metode apa yang paling ampuh merestorasi alam pikiran dari jeratan pseudo kehidupan? Di tengah krisis eksistensi yang menjalar ke setiap lini masing-masing individu hingga menjadi pionir terbukanya aktivitas yang mereduksi kualitas nilai kehidupan seseorang.

Menurut hemat saya, memilih dunia sebagai tujuan dari kehidupan sungguh itu hanya pilihan. Namun, ketika seseorang memilih keyakinan tersebut, orientasinya kira-kira akan berbunyi demikian: segala bentuk kepemilikan dianggap sebuah prestise. Dan pencapaian yang berangkat dari nilai-nilai keduniawian yakni status sosial: kedudukan, harta, jabatan, eksistensi, dan hak kepemilikan lain adalah tesis dari ’konsep ber-Tuhan’.

Bentuk keyakinan ini secara kompleksitas mempunyai tendensi bahwa sesuatu yang telah dicapai telah menjadi bagian dari sikap hidup dan tidak rela (sayang) untuk disia-siakan. Paradigma macam ini telah memunculkan anekdot bahwa konsep yang menjadi keyakinan mengarah pada bentuk ’penuhanan’ zaman jahiliah: Tuhan-Tuhan kecil.

Realitas semacam ini memang memungkinkan terjadinya distorsi yang semestinya tidak demikian menjadi semakin nyata hingga menjalar ke setiap lini kehidupan. Eksistensi individualisme dari individu semakin mencerminkan bahwa keberadaan diri adalah modal utama yang harus muncul; tampak; hadir; bersifat prinsipiil. Sedang gengsi kehidupan menjadi atribut yang menyebabkan manusia semakin bebal; tidak tahu diri.

Kesombongan secara perlahan menggergaji kesadaran dan logika. Kita lupa bahwa manusia sungguh bukan pemilik eksistensi dan hal-hal yang berbau hipokrit. Sejatinya, manusia tidak memiliki kedaulatan untuk merasa demikian; ngeksis; biar dibilang oke, dan lain sebagainya.
Tapi saya sadar, tidak ada yang lebih siluman ketimbang kenyataan hari ini. Di tengah kompleksitas dan berkelindannya persoalan yang tumpah ruah; manusia tetap stay cool dengan koleksi mobil terbarunya. Atau, asyik membicarakan makanan junkfood di mal-mal dengan label yang wow.

Disadari atau tidak, kita sebenarnya ’dituntut’ berada di garis terdepan untuk memenuhi hasrat dan keinginan.
Kalau saya boleh berpendapat, eksistensi, bentuk penuhanan, hasrat, dan keinginan yang tiada batas itu, justru akan mengantarkan seseorang untuk mempercepat ’matinya’ menuju liang lahad.

Bisa dibayangkan, apa yang terjadi ketika seseorang kehilangan barang yang begitu berharga bagi dirinya?

Goncangan kehidupan mulai terasa dan memupuk dalam diri; menyesal merasa kehilangan; tidak mampu menerima keadaan. Pada titik akhir akan membuat alam pikirnya tidak dapat dikendalikan—karena yang ada dalam alam pikirnya berfokus dan bersumber pada ’ketidakrelaan duniawi’. Sehingga tidak salah kalau saya berkata demikian perihal eksistensi, keserakahan, dan segala bentuk pengerdilan diri.

***

”Dalam kehidupan ini, kita tidak hanya bergaul dengan hak, tapi juga dengan kewajiban, larangan, dan anjuran.” —Emha Ainun Nadjib

Sedikit mustahil ketika berbicara soal hak. Karena sangat (mungkin) untuk tidak toleran pada yang lain; kewajiban, anjuran, dan larangan. Memang sensitif sekali ketika seseorang dihadapkan pada hak yang berorientasi pada pemenuhan diri. Sedangkan kewajiban, anjuran, dan larangan yang semestinya perlu kita pikirkan menjadi hal yang tabu dan cenderung dinomor-sekiankan.

Pernahkah kita berpikir atau paling tidak menyadari pedih-manisnya cara Tuhan menghidupkan ’rasa’? Bukankah apa yang terjadi dan hadir dalam kehidupan ini adalah sebuah proses; jalan panjang? Dan, bukankah kenyataan hidup itu memang ’bersifat hari raya’, yakni memenuhi kesenangan?

Berupaya menahan memang cukup sulit. Kedalaman ’rasa’ bagi saya adalah energi yang diberikan Tuhan agar manusia mampu memahami gejolak kehidupan. Pahamilah bahwa apa yang terjadi adalah proses; jalan panjang. Tidak perlu takut untuk tidak dianggap baik oleh orang lain. Karena pada dasarnya, manusia akan kembali pada khittah-nya; alam setelah kehidupan di dunia; alam baka.

Sedang pedih-manisnya ’rasa’ dalam hidup memerlukan kedalaman jiwa untuk mampu membuka cakrawala batin yang semakin tumpul oleh pengaruh dekadensi kebudayaan. Pijakan kita bukan lagi soal hidup; kesenangan dan pemenuhan diri. Lebih dari itu, kita mesti membalikkan keadaan menjadi yang serendah-rendahnya, agar kita tahu siapa diri kita sebenarnya. Memang benar saya ini bukan orang yang anti-dunia, tapi paling tidak kita akan tahu bagaimana proses menjadi sakit.

Maka, sebaik-baik jalan untuk kembali ke titik nol adalah ’berpuasa’ dan matikan ’api’ dalam dirimu. Segala sesuatu yang sewajarnya perlu hadir dan ditampakkan, pada akhirnya kita mesti memutuskan untuk menahannya saja; menerbitkan rasa pahit kehidupan. Karena rasa sakit dan kesendirian adalah konsep peniadaan diri; pasrah—melakukan apa yang pada dasarnya tidak disenangi, serta tidak melakukan apa yang pada dasarnya kita senangi. (*)

Tidak ada komentar: