:kepada seorang kawan
Tidak banyak
yang saya harapkan di tempat ini. Sebuah ruang sempit yang banyak menyita
pikiran, perasaan, juga kenangan. Ya, apartemen rumahku. Seperti yang Bibir
bilang, kawan yang selalu mengundang gelak tawa kepada saya, dengan tingkah
pola yang mudah memancing saya tersenyum simpul. Barangkali karena mulutnya
yang selalu mempunyai kesiapan dalam menangkap asumsi orang lain. Meski
terkadang ia seringkali terlihat murung, juga ia seorang yang suka kehilangan mood-nya tiba-tiba.
Begitulah
dia. Temanku yang lain biasa menyebut dia Bibir sebagai sindiran. Sebab
mulutnya lebih gegas daripada nalarnya. Tapi dia seorang yang baik. Tipikal
manusia yang suka tantangan. Ia seorang pekerja keras dan rajin ibadah. Di apartemen
itu, –tempat yang selalu terisi dengan curhatan, peringatan, bahkan sebuah
gagasan yang tertuang dalam suatu percakapan panjang– ada saja hal yang selalu
membuat saya tertarik untuk berdiam di sana. Sangat menarik, karena tidak ada
tempat tinggal sebaik apartemen itu, selain rumahku sendiri. Kukira begitu,
untuk menghibur diri yang sedang murung.
Dalam
perjalanan batin saya yang berkelok, saya telah berterima kasih karena dapat
dipertemukan dengan orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap sesama
manusia. Seperti kalian, mengerti bagaimana cara memanusiakan orang lain. Saya
tak akan lupakan. Hari ini, esok, juga akan datang. Nyatanya memang tidak mudah
bertemu kalian, menjalin hubungan baik dalam satu atap rumah. Kini semuanya
menjadi mungkin karena impian sudah tertanam dalam batin.
Saya selalu
ingat dan berulang kali menghitung tanggal. Sebab siang ini menyisakan
kegetiran, seperti tangisan si miskin yang merengek kepada induknya. Mencari
kebahagiaan demi sesuap nasi dari satu pelataran rumah ke pelataran yang lain.
Untuk bertahan hidup. Tak ada yang lain. Juga kerinduan akan kesempatan lain
yang mungkin. Yang barangkali juga tidak mungkin. Ya, seperti diri saya yang
kehilangan kesempatan atas kerinduan pada setiap kerling yang mereka tanam dulu.
Saya kemudian
mengingat perbincangan kali pertama dengan mereka. Ingatan itu tiba-tiba
menerobos alam pikir dalam saya. Yang semula hanya tertunduk lesu, kini mata
saya yang sepasang itu telah berubah. menjadi sedikit berbinar. Menyala melalui
setiap pancaran yang datang dari ingatan, di masa yang telah lewat. Mengingat
semua yang pernah mereka bilang berbulan-bulan lalu. Lebih dari enam belas. Banyak
hal yang sangat diharapkan dari seorang yang konservatif ini. Barangkali hal
itu telah menjadi sebuah pengharapan bagi mereka. Ah, betapa menggigil tubuh
ini mendengar gelegar suara mereka yang gemuruh dengan napas menderu-deru. Saya
menjadi ragu dengan sebuah tanggung jawab. Namun, saya tidak ingin menjadi
seorang yang lalim di mata mereka.
***
Selama berhari-hari,
jauh setelah pertemuan yang sempat menggumpal dalam ingatan, saya hanya bisa
berharap tidak akan mengecewakan mereka. Kemudian saya bulatkan niat saya untuk
memenuhi semua keinginan mereka. Meski langkah kaki terasa ngilu memulainya,
saya tetap mengambil start. Pada
mulanya saya mampu memenuhinya. Akan tetapi, setelah keberhasilan awal tidak
ada lagi yang bisa saya perbuat. Barangkali ada. Memang saya tidak mengada-ada.
Hanya secuil mungkin. Sangat sedikit. Ya, sedikit saja. Saya selalu mencoba
untuk bisa memenuhi kembali semua keinginan mereka. Bukan tanpa usaha, saya
telah berusaha sekeras mungkin. Tapi... beginilah saya, untuk menata diri saja
perlu dibopong. Saya selalu berhenti di tengah jalan. Bimbang mencari arah dan
selalu tersesat di simpang jalan. Lalu memilih kembali dengan kemalasan,
kesenangan di luar batas. Melupakan apa yang telah menjadi sebuah keharusan.
Begitu terjadi berulang kali. Barangkali sebelas, juga dua belas.
Melihat
kondisi saya dewasa ini, saya sedikit terlihat berbeda. Tidak sama dengan yang
dulu. Yang sehari-harinya hanya mengenal buku bacaan. Melantunkan beribu nada
dari petikan senar gitar yang biasa saya mainkan. Atau melakukan perjalanan
setiap akhir pekan dari satu kota ke kota yang lain, untuk mengasah kehidupan.
Saya mengerti, tapi belum mau menyadarinya. Saya begitu eksplosif saat ini.
Bukan kepada siapa-siapa, tapi pada diri sendiri. Entahlah, saya begitu anonim
hingga tak tau apa yang sebenarnya menjadi persoalan. Saya kira kesejahteraan
saya saat ini cukup membaik. Mungkin hanya mengalami gizi buruk lantaran ‘tidak
terlalu suka makan’ dan banyak begadang saja.
Saya belum
bisa menghasilkan apa-apa. Meski setiap perjalanan tidak sepenuhnya berujung
pada kesia-siaan. Dalam benak saya, tiba-tiba saja saya dihadapkan pada
pertanyaan, seperti ingin menggugat. Kemudian bertanya: Lantas apa yang mesti
disesali dari semua ini? Tidak ada, saya bilang. Menyesal hanya akan membuat
saya mundur. Saya cuma belum berhasil, pikir saya kemudian. Barangkali saya ini
terlalu larut dalam pikiran dan perasaan yang begitu dangkal, juga bebal. Ya,
barangkali memang benar. Begitu terjadi berulangkali sampai saya muak. Sampai
pada titik jenuh. Tidak bisa berbuat. Pikiran saya suka sekenanya sendiri, tak
mau ikut aturan saya. Kadang memikirkan yang itu, kemudian di waktu yang lain
memikirkan hal lain pula tanpa saya minta. Seperti ombak yang menyisir
gelombang air laut, pasang-surut. Mengembalikan saya pada ketidakseriusan dalam
segala hal. Tak pernah ada ujung.
Saya menjadi
bertanya pada diri sendiri, apa mungkin karena kealpaanku terhadap pengharapan
mereka yang tidak kunjung saya tepati? Barangkali menjadi sebab. Walau mungkin
banyak sebab lain yang ada di luar batas kesadaran saya. Sudah. Cukup. Cukup...
sampai di sini! Tak ada yang perlu disesalkan. Sudah cukup banyak penyesalan
yang menyayat perasaan. Saya hanya butuh keberanian lagi untuk melangkah.
Melangkahkan kembali kaki yang telah pincang ini. Tapi, saya tidak tahu harus
mendapatkan keberanian itu di mana. Walau begitu, saya telah menyatakan
kesiapan diri, menjadi manusia sebenarnya. Hanya ada satu ucapan: terima kasih
pada kebesaran hati kalian, juga hari ini yang membikin nyanyian sunyi dalam
dinding hati saya. Ungkapan rasa simpati saya memang tidak bisa menggantikan semua
yang sudah-sudah. Yang terlewatkan. Saya cukup memahami, mungkin saya seorang
yang lalim bagi mereka –kalian yang mungkin masih berhak saya miliki dalam
benak saya. Tapi, biarkanlah saya mengucapkan rasa simpati ini pada semua
kebaikan yang telah kalian alamatkan kepada saya. Yang sudah membuat saya
menjadi begini mengerti. Terima kasih... kawan.
***
Malam itu
saya memasuki pelataran apartemen rumah dengan perasaan haru. Dengan satu
helaan nafas, saya melangkah melewati ambin pintu secara perlahan. Perlahan-lahan.
Mengawasi setiap derap langkah dengan sepasang mata yang telah sayu. Saya
terdiam, tak berkata sepatah kata. Sesekali membuang air muka pada lengan
sebelah kiri. Tiba-tiba saja sepasang mata saya menjadi liar melihat setiap
sudut ruangan telah menjadi masam. Apartemen itu mengenali saya. Sungguh. Saya
pun demikian. Begitu akrab dengan setiap inci dari bagian ruangan yang
menempel, tergores dalam sebuah dinding beledu yang berdebu itu. Saya
perhatikan baik-baik, tak ada lagi kemurahan di sini. Yang pernah tinggal dulu,
kini silih berganti pergi meninggalkan tempat ini. Sebuah tempat yang selalu
menjadi pengharapan bagi orang terdahulu yang mengharapkan generasi setelahnya
dapat menjadi orang besar di kemudian hari.
Entahlah,
banyak tanggung jawab yang sudah terbuang. Saya hanya bisa termenung
menyaksikan kesanksian ini. Saya selalu berusaha untuk bertahan dalam bilik
ruangan ini. Meski kemurahan tidak lagi tinggal. Mungkin saya tidak sendiri,
kawan di seberang sana sedang menunggu kesetiaan, pengharapan baru dan memulai
melanjutkan cita-citanya kembali –di mana dalam perjalanannya yang lewat selalu
di pause
dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Barangkali saya memang terlalu kangen
dengan segala proses, kegiatan dan perjalanan yang dulu rutin dilakoni. Tidak
pernah tidak. Begitu juga kenangan, yang banyak sekali meninggalkan
catatan-catatan manis. Yang saat ini cuma menyisakan saya, juga beberapa kawan
yang masih bersimpati untuk tetap tinggal. Sudah berbulan-bulan lalu kita tidak
berproduksi, juga tidak menghasilkan apa-apa, saya hanya dapat maklum. Dalam
posisi ini, saya juga salah. Tidak bisa berbuat banyak. Tapi saya terlanjur
bahagia di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar