Menyoal Manusia dan Hidup



Dalam setiap waktu yang telah lewat ini, aku telah banyak mengalami perjalanan hidup yang berliku.Tuhan memang telah menyusun kehidupan di dunia menjadi begitu rumit. Namun, Tuhan memberikan banyak pilihan bagi manusia untuk memilih jalan hidupnya. Sulit memang menentukan pilihan, apalagi soal hidup. Manusia hanya bisa menggantungkan diri pada usaha dan kesiapan diri dari pribadi manusia itu sendiri.

Aku kemudian bertanya pada diri sendiri, terlepas dari hukum dan aturan yang berlaku. Melepaskan diri dari persoalan benar-salah, apakah hal yang mendasari pertanyaan ini baik atau buruk. Atau, menyoal keindahan dan yang tidak indah, dengan segala lapisan kata lain tentang indah dan tidak indah itu sendiri, yang saling mengaitkan.

Mula-mula terbersit dalam hati: hidup ini kok begini-begini saja, ya? Sepertinya kok kurang gereget gitu. Tapi apa yang membuat hidup ini terlihat membosankan? Kenapa pula hidup ini mesti demikian, harus begini dan begitu, tidak boleh begini dan begitu? Dalam hidup, apa tidak boleh manusia merasa pesimis? Itulah beberapa pertanyaan bodoh yang menggumpal dalam otak ketika aku sedang bingung, kelaparan dan tidak menemukan sesuatu untuk dimakan. 

Kata temanku sih, jawabannya sudah jelas. Tergantung pribadi masing-masing ingin menjawab seperti apa, melalui sudut pandang yang mana, menurut subjektifitas dan objektifitas siapa. Kalau begitu, mengapa pula aku mesti mempertanyakan soal hidup, yang tak satu siluman pun tahu?, protesku. Ah, sekedar tanya ‘kan ndak masalah, pikirku kemudian. Memang, pertanyaan macam ini terkadang suka menyusup alam pikirku barang satu-dua bab.

Kalau aku ditanya perihal hidup atau hakikat manusia dan kehidupan, maka aku akan balik bertanya: kenapa harus kau ajukan pertanyaan macam itu padaku? Apa kau tak tahu, sekarang ini aku sedang kesal? Ah, jangan kau mengejekku demikian. Aku memang kelihatan sedikit kaku untuk menerima sesuatu macam itu. Aku sadar akan hal itu dan tidak mencoba melebih-lebihkan. Aku telah mengalami trauma berkepanjangan. Bagaimana tidak, lha wong di rumah sendiri aku selalu terancam dari teror-teror yang mencoba menjungkir-balikkan. Ini bukan kali pertama mereka berlaku demikian padaku, barang tentu sudah berpuluh tahun lamanya.  

Mereka tidak pernah rela melihatku bahagia. Bahkan aku tak pernah mendapatkan hak untuk bicara, melontarkan pendapat atau berargumen perihal apapun. Omong sak keccap dikeplak. Jadi, aku hidup di dunia hanya dipaksa untuk memenuhi kemauan mereka. Matamu suwek..., Su! Sangat wajar kalau sekarang ini sikap temperamenku suka kambuh ketika di rumah. Apalagi melihat wajah mereka yang tak pernah senang dengan kehadiranku. Ah, terpaksa aku mengingat kembali pengalaman tidak menyenangkan itu untuk yang kesekian.

Tapi beruntunglah, perlakuan tidak menyenangkan itu bukan datang dari bapak dan ibuku. Karena bapak dan ibu sendiri, yang memberi aku makan tidak pernah memberi teror. Sepanjang hidupku, aku telah membaca mereka. Bapak dan ibu membebaskan aku untuk mencari jalan yang akan aku pilih. Setidaknya aku telah memiliki kemerdekaan atas diri sendiri. Meski aku paham, bahwa kemerdekaan yang lain atas diriku, telah dirampas oleh tangan manusia-manusia yang tidak manusiawi. Inilah yang selalu menyedihkan hatiku, meskipun memang demikian realitas yang harus terjadi. 

***

Sekarang aku membuat pertanyaan baru. Pertanyaanku kemudian beralih dan menjadi begini: apa salah jika manusia bersikap skeptis pada apapun yang menyangkut tentang hidup? Bila seumpama aku jadi seorang yang radikal kira-kira bagaimana, salah tidak? Kemudian mempersoalkan segala persoalan yang muncul dalam kehidupan dan memberi pembenaran-pembenaran atas kebenaran diri sendiri, bukan kebenaran orang lain. Apa itu juga salah? Lalu, sebenar-benar manusia itu mestinya bagaimana? Harus melakukan sesuatu apa sehingga dianggap baik dan benar? Aku mengerti bahwa setiap manusia tidak akan lepas dari kesalahan. Tapi yang aku maksud bukan pada konteks itu. Lebih pada konteks yang mendasari itu semua.

Tak lama aku membikin jawaban atas pertanyaanku tadi: ah, rupanya hidup ini penuh dengan kepelikan. Sesuatu yang tidak menyenangkan. Memang hanya itu. Semua kembali pada: pesimisme. Dalam distorsi realitas-sosial masyarakat yang selalu berubah ini, sebenarnya tak ada seorang pun yang mau menanggung penderitaan. Pertanyaannya begini: mana ada orang mau bersusah-payah kalau bisa memilih hidup bergelimang harta? Atau, manusia mana mau dijadikan budak dan dibungkam hak-haknya hanya untuk memenuhi semua keinginan dan kesenangan penguasa?

Tapi, ya, sudahlah... kate piye meneh... orang Indonesia ini kan selalu menerima dengan perasaan tabah kepada apapun yang bakal terjadi pada dirinya. Tidak pernah protes apalagi menuntut keadilan atas hak-hak yang tidak pernah terpenuhi. Dengan segala bentuk himpitan ekonomi, jaminan kesejahteraan yang tidak kunjung didapat dan bla.. bla.. bla, mereka masih memiliki kesanggupan untuk bertahan hidup. Apa itu bukan nekat namanya.

Kira-kira begitulah realitas yang terjadi dewasa ini, tak ada toleransi bagi kaum tersisih. Seperti aku, juga kaum konsorsium para ‘mbambung’, tak memiliki kemampuan lain kecuali tabah pada tengiknya kehidupan. Aku sadar dengan segala kebesaran bangsa ini, yang memiliki sikap rendah hati dan mental yang tangguh. Artinya, mau kehidupan ini ‘begini’ atau ‘begitu’, tidak menjadi soal. Hidup mesti jalan terus! 

Ah, sudahlah... dari pada aku terus-menerus mempertanyakan soal kepelikan hidup, sehingga memungkinkan pikiran mempunyai kecenderungan cara pandang atau pola pikir yang negatif, lebih baik tak usah dirisaukan. Bersikap optimis dalam segala hal barangkali adalah jawaban atas kedunguanku menyoal kehidupan. Aku jadi ingat sekarang: Tuhan itu maha kaya, maha pemurah, maha melebihi segalanya. Manusia pasti menemukan caranya sendiri untuk mengatasi macam-macam persoalan. Tergantung pada takaran substansial masalah yang dihadapi oleh manusia, dan bagaimana cara manusia memandang masalah yang dihadapinya. Tinggal pilih saja mau yang mana. Tuhan tidak akan  memberikan cobaan melebihi kemampuan si manusia.

Hidup tidak sepenuhnya salah bila manusia bijak dalam memahami kedalaman suatu masalah yang sedang dihadapinya. Hidup ibarat sebuah kanvas lukis kosong, manusia yang melukiskan sesuai kemahiran tangan si manusia menggunakan kuas dan cat. Artinya, hidup mau dibikin rumit atau enteng, ya, kembali pada si manusia. Manusialah yang menentukan. Jadi, menurut hemat saya, hidup ini tidak salah meski aku sendiri seringkali su-u-zan perihal hidup yang dialamatkan Tuhan kepada manusia, termasuk aku. Kualitas si manusia itu sendirilah yang mestinya perlu dipertanyakan.  

Sekarang aku membuat pernyataan. Kali ini agak terlihat gagah: saat ini banyak sekali orang yang suka salah tingkah dan tak jarang si manusia memberi pembenaran pada diri sendiri. meski ia tahu dalih-nya tidak sepenuhnya benar aku bicara begitu, bukan berarti aku paling benar. Lihat saja, kok bisa-bisanya kebahagian seseorang diukur dengan materi (uang). Aku tidak sepakat! meskipun tak dapat dipungkiri, kadang aku juga demikian. Seperti kata Pakde Dalbo dulu yang pernah bilang padaku: bahagia itu sederhana. Ndak usah muluk-muluk. Asal  hidup berkecukupan, masih bisa merokok, diberi kenikmatan menyeruput kopi yang dihidangkan panas-panas, mendapatkan kesehatan lahir-batin dan lain-lain. Itu sudah lebih dari cukup.

Andai manusia mau sedikit saja berpikir jernih, aku kira persoalannya selesai. Kita mau menuntut apa, wong kelakuan kita saja masih barbar. Ah, tak punya malu aku tak menutup diri, aku juga termasuk. Bisa bernafas saja sudah alhamdulillah. Eh, kok malah bicara yang bukan-bukan. Bersyukur dong... diberi pengalaman indrawi sehingga tahu cara merokok, itu sudah untung! Entah cara merokok yang bagaimana, karena tata cara merokok itu sangat banyak dan variatif. Rokok yang dihisap atau seperti mengemut, sehingga menimbulkan gesekan juga dinamakan merokok. Ah, sudahlah... aku sendiri belum bisa apa-apa, masih selalu meng-hamba pada kehidupan dunia. Tapi biarlah... aku sudah terlanjur bertekad untuk ‘belajar menahan’ pada apapun, menyangkut hidup. 


Hidup, seperti juga puisi dan lukisan,
seluruhnya adalah ekspresi. Kontemplasi
tanpa aksi adalah kematian.

Sirr Muhammad Iqbal

4 Agustus 2013

Ghinan Salman

Tidak ada komentar: