“Independensi
merupakan hal yang penting. Bukan untuk gagah-gagahan, tetapi karena sesuai
dengan etika. Keberimbangan, liputan dua belah pihak, dan independensi yang
tinggi yang membuat surat kabar layak dikonsumsi”
–Amir
Siregar, mantan Sekretaris
Jenderal Serikat Penerbit Surat kabar (SPS)
Media massa
memiliki peranan sebagai penyebar pesan dan informasi yang melibatkan jumlah
komunikan banyak, tersebar dalam area geografis yang luas. Namun, akhir-akhir
ini tiras
media cetak mengalami kemerosotan. Pers umum makin kehilangan kemampuannya
dalam menggali realitas. Sebagian pers umum di Indonesia saat ini gagal meredefinisikan
fungsinya di tengah-tengah perubahan drastis. Telah terjadi semacam kekagetan
yang menyebabkan disorientasi dalam menghadapi berbagai masalah yang mencuat ke
permukaan.
Perubahan
yang terjadi dari distorsi media umum kekinian, terutama secara politik,
mengakibatkan persoalan-persoalan di negeri ini carut-marut. Banyak kasus-kasus
yang belum bisa tertuntaskan oleh media umum. Media umum bukan lagi sebagai
pemberi informasi yang baik bagi khalayak publik. Dalam perilaku media itu
sendiri, keuntungan tertentu yang mendukung kepentingan pemodal justru tidak
mencerdaskan bangsa, tapi malah menjerumuskan.
Namun
demikian, telah menjadi kekuasaan pemodal untuk mendukung dan mencapai tujuan
politiknya. Disadari atau tidak, pengaruh media sangat kuat dalam upaya
mempengaruhi pikiran publik komunikan. Subjektivitas pemodal diagung-agungkan
dengan alatnya, media itu sendiri. Media ditekan menjadi layanan propaganda
yang notabene para pelaku media itu sendiri adalah elite partai yang berkuasa.
Tidak adanya
keberagaman konten atau isi, barangkali menjadi salah satu penyebabnya, di
samping banyaknya kecurangan lain. Terlebih pemilik media di negeri
ini hanya segelintir saja. Kebanyakan para pemilik
media tersebut adalah orang-orang yang berpengaruh di partai politik.
Sudah pasti, para pemilik media saling baku hantam untuk mendapatkan posisi
tertinggi dalam mempengaruhi asumsi masyarakat.
Publik
komunikan yang rata-rata anonim hanya bisa pasrah dan menelan begitu saja tanpa
melakukan proses evalusi dan menelaah secara mendalam terkait
pemberitaan-pemberitaan yang muncul ke permukaan publik. Media yang seharusnya
berpihak kepada kepentingan publik bukan lagi sesuatu yang wajib yang musti
diutamakan.
Apalagi, media umum saat ini
cenderung memberikan tayangan-tayangan yang kurang mendidik. Contohnya seperti
pencabulan, perampokan, korupsi, kekerasan dan kerusuhan. Tayangan-tayangan
semacam ini dapat mengkonstruksi pikiran publik dan dapat pula
membentuk stigma negatif yang bisa mengubah pola pikir
masyarakat dalam mencerna isi media saat ini. Pemahaman terhadap pengaruh media
umum menurut hemat saya perlu untuk diketahui publik. Sudah selazimnya publik
komunikan diajarkan tentang kesiapan diri untuk mengaktualisasi pikiran melalui
media yang ditawarkan.
Di lihat dari
sisi pendidikan dalam kaitannya dengan pers atau media mainstream,
institusi atau lembaga pendidikan di Indonesia dinilai kurang dan jarang sekali
memberikan pemahaman terhadap peserta didik tentang pengaruh media yang semakin
menderas, terutama belakangan ini. Hal ini semestinya menjadi ultimatum, bom
waktu yang sewaktu-waktu bisa saja membumi-hanguskan alam bawah sadar bila
terus menerus didiamkan.
Satu hal yang
ingin saya ajukan sebagai pertanyaan, barangkali bisa menjadi pertimbangan.
Sejauh ini, apakah lembaga atau institusi pendidikan sudah menerapkan cerdas
media atau melek
media kepada khalayak umum, terlebih kepada para peserta didik? Pendidikan di
Indonesia menjadi sangat relevan sekaligus urgen mengingat sekolah-sekolah
maupun perguruan tinggi memiliki kelimpahan akses pada media.
Cerdas media
atau melek
media yang dimaksudkan di sini adalah proses kritis dalam menganalisis dan
mengevaluasi mana tayangan atau pemberitaan yang layak dilihat, dibaca dan mana
yang tidak layak. Sehingga, para pemirsa atau pembaca memiliki pertimbangan
subjektif untuk menentukan sendiri perspektif yang dimiliki dan tidak
terkungkung dengan arus konstelasi politik yang muncul dalam pusaran media umum
saat ini.
Pers Mahasiswa (Alternatif) Menjadi Nilai Tawar Ketika Pers Umum Sudah Tidak Lagi Independen
Sejarah
organisasi pers mahasiswa di Indonesia selama ini kurang begitu
diperhitungkan. Pers mahasiswa acap kali diposisikan sebagai organisasi yang
terpinggirkan dalam bingkai sejarah pergerakan mahasiswa. Tidak banyak kalangan
yang mengulasnya. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai salah
satu organisasi pers mahasiswa, dapat menjadi suatu pertimbangan untuk merespon
arus besar perubahan sosial-politik.
Penegasan
orientasi pers mahasiswa pada isu-isu kerakyatan merupakan bentuk konsistensi
untuk mengawal perubahan demi kebaikan bersama. Pers mahasiswa lebih memilih
jalan sunyi untuk menjaga jarak dengan kekuasaan agar tetap konsisten menjaga
independensi dan semangat idealisme pers mahasiswa, serta keberpihakan kepada
rakyat.
Tugas pers
mahasiswa sebagai organisasi yang bergerak di bidang permediaan, tentunya
memiliki caranya sendiri dalam bermedia. Bedanya dengan pers umum, pers
mahasiswa menekankan arah geraknya –melalui medianya sendiri– untuk memberi
penyadaran kepada para pembaca, publik komunikan melalui media alternatif yang menyuarakan
kepentingan publik, tanpa ada intervensi dari partai politik maupun elite politik.
Banyak fungsi
dan harapan yang tersandar pada pers mahasiswa sebagai pembela kemerdekaan. Sistem kerja yang baik, koordinasi yang
tertata serta pengawalan isu bersama dari semua insan pers mahasiswa
se-Indonesia menjadi salah satu alasannya. Meski, sampai saat ini independensi pers mahasiswa selalu coba dikebiri.
Para lakon pers mahasiswa ini selain menerbitkan buletin, koran, jurnal dan
majalah, mereka juga kerap kali memberikan pelatihan-pelatihan jurnalistik dan
pemahaman mengenai media
literacy di berbagai kampus di Indonesia.
Dibandingkan
dengan pers umum, pers alternatif yang berbasis di
kampus-kampus jauh lebih konsisten dan tetap setia memperjuangkan idealismenya
dalam bermedia. Pers mahasiswa tetap setia mengawal isu-isu yang berangkat dari
kepentingan publik dan mengkaji berbagai kasus yang belum terselesaikan dalam bentuk
konkret. Pers mahasiswa menjadi ujung tombak terakhir di tengah ketidakpastian
media umum yang berpihak pada golongan tertentu untuk mencapai tujuan pemodal.
Ketika pers
umum tidak lagi independen, satu-satunya cara adalah memberikan pemahaman yang
mereduksi pola pikir masyarakat, agar mampu mencerna dan tidak terjebak
dalam konspirasi politik media. Konspirasi politik media yang dimaksudkan di
sini adalah persekongkolan antara pemodal, pemerintah, para aktor elite partai
politik, arus pasar global dan tentunya media itu sendiri.
Apabila
kesadaran ini mampu diterima oleh masyarakat, barangkali masyarakat pembaca
bisa berpikir selektif dalam mengkonsumsi isi media yang ditawarkan pers umum.
Maka, dengan semangat pers mahasiswa –wartawan tanpa bayaran– yang
mengatas-namakan kebenaran demi tercapainya kebaikan bersama, pers mahasiswa (mau tidak mau) harus
mengubah paradigma pola pikir masyarakat untuk mewujudkan arah tujuan
hidup yang baik dalam upaya turut mencerdaskan bangsa. Dan kebaikan
hidup bersama merupakan harga mati yang tidak bisa terbantahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar